Selasa, 28 Desember 2010

Pendidikan Humaniora

Pada dasarnya guru sebagai seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin. Serta membantu peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya.
Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja (transfer of knowledge), tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan “modeling”nya (transfer of attitude and values), baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah.
Pendidikan yang humanis menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam komunitas sekolah. Relasi ini berkembang dengan pesat dan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi oleh cintakasih antar mereka. Pribadi-pribadi hanya berkembang secara optimal dan relatif tanpa hambatan jika berada dalam suasana yang penuh cinta (unconditional love), hati yang penuh pengertian (understanding heart) serta relasi pribadi yang efektif (personal relationship).
Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur (modeling). Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan dirinya secara optimal.
Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa di sekolah.
Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi “dunia”, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian mem- “fungsi” -kan dirinya di dalam masyarakat secara optimal.
Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N. Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.
Dalam bahasan ini masalah yang terkait erat adalah standar keberhasilan belajar yang masih menekankan bidang intelektual dan sekaligus sentralisasi standar mutu (UN:Ujian Nasional), yang mengakibatkan masyarakat terjerumus pada keyakinan bahwa hasil UN adalah satu-satunya ukuran keberhasilan peserta didik dan juga sekolah sebagai lembaga pendidikan. Hasil UN menentukan ranking mutu sekolah, tanpa memperhatikan banyak aspek lain yang mungkin diperoleh oleh peserta didik atau lembaga sekolah yang ada. Singkatnya sistem evaluasi dan UN yang diselenggarakan masih mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah sebagai lembaga pendidikan, menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur oleh soal pilihan ganda atau benar salah yang mengesampingkan aspek humaniona siswa.
B. Perumusan masalah
Dewasa ini banyak persoalan yang menjadi beban pengelolaan pendidikan dan pengajaran. Mulai dari beban ajar yang terlalu banyak dan padat, sampai pada profesionalitas guru yang masih belum memadai dan penghargaan finansial terhadap para pendidik yang masih sangat rendah. Dengan demikian rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa definisi pendidikan humaniora?
2. Bagaimana pengembangan pendidikan di sekolah ditunjau dari aspek humaniora ?
Pembatasan masalah pada makalah ini, pengembangan pendidikan di sekolah ditinjau dari aspek humaniora.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Tujuan Humaniora
Menurut Drs. H.A. Dardiri, 1986, Istilah Humaniora berasal dari bahasa latin baru. Dalam bahasa Inggris searti dengan “the humanities” yang sama-sama diturunkan dari bahasa latin kuno “humanus” yang berarti manusiawi, berbudaya dan halus. The Humanities berkaitan dengan masalah nilai yaitu nilai kita sebagai homo humanus atau manusia berbudaya. Elwood, 1975 (L. Wilardjo dalam buku Jujun S. Sumantri), mendefinisikan “humaniora” sebagai seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya. Lebih lanjut L. Wilardjo memperluas pengertian humaniora, yang berkaitan dengan hubungan mendatar yang tersirat dari frasa “terhadap sesamanya” itu menjadi hubungan trisula atau bercabang tiga yaitu : 1) hubungan dengan Khaliqnya, 2) Hubungan dengan sesamanya, dan 3) hubungan dengan alam.
Dalam Encyclopaeda Brittanica, the humanities sebagai jenis pengetahuan yang berkenaan dengan nilai-nilai manusia dan ekspresi-ekspresi dari jiwa manusia.
Dari dua sumber di atas dapat ditari kesimpulan, bahwa humaniora adalah :
1. Sejenis pengetahuan yang berkaitan dengan nilai-nilai manusia dan ekspresi-ekspresi dari jiwanya;
2. Seperangkat sikap dan perilaku moral terhadap sesamanya.
Adapun tujuan humaniora, lebih lanjut dari definisi yang dikemukakan Elwood bahwa humaniora sebagai seperangkat sikap dan perilaku moral terhadap sesamanya, ini berarti humaniora membawa manusia menjadi berbudaya dan berwatak. Mempelajari humaniora juga diharapkan manusia sadar bahwa bidang pengetahuan apapun yang dimiliki harus berorientasi pada kemanusiaan, yaitu untuk kebahagiaan umat manusia dan bukan untuk membawa malapetaka.
Tujuan humaniora ini dapat diperluas ruang lingkupnya, yaitu agar dapat membawa manusia mampu berkomunikasi dengan al Khaliq, dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya.

B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan.
Menurut Langeveld, 1965 (Uyuh Sadullah,2003) mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya.
Menurut Ki Hajar Dewantara; Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebagiaan yang setinggi-tingginya.
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Bab I, pasal I, ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana melalui suatu proses pembelajaran untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, mencakup aspek pengetahua, nilai dan sikap, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Adapun tujuan pendidikan, Hummel, 1977 (Uyuh Sadullah,2003) menyatakan bahwa dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Autonomy, yaitu memberikan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik;
b. Equity (keadilan), yaitu memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi, jangan memberinya pendidikan dasar yang sama;
c. Survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Selanjutnya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, Bab II, Pasal 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari uraian tentang tujuan pendidikan di atas, dapat dikemukakan bahwa selaras dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang merupakan dasar dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan pendidikan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, manusia yang menghayati dan sekaligus mengamalkan Pancasila, yaitu manusia yang memiliki kepribadian, dimana sikap dan perilakunya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

C. Pemikiran Filosofis Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan
Dalam konsep Pendidikan, Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya tersebut ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya.
Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand.
D. Pendidikan yang Humanis
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya).
Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bawa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand ”.
Masalah pendidikan yang cukup penting untuk dibenahi adalah proses pembelajaran yang hanya menekankan pada aspek hafalan, ingatan, “memorizing” belaka. Ini disebabkan beberapa faktor; guru mengajar hanya menggunakan metode ceramah melulu, bentuk soal yang hanya pilihan berganda, penanaman pengetahuan yang tidak sampai pada konsep/pengertian dan nilai, dan suasana kelas yang aktif-negatif (seperti misalnya aktif mendengarkan, aktif mencatat) namun tidak aktif-positif (seperti misalnya aktif bertanya, aktif berdiskusi, aktif melakukan percobaan, aktif “mengalami”, aktif merefleksikan).
Oleh karena itu kalau pendidikan mau benar-benar membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan aspek-aspek dirinya, perlu dikembangkan pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek ingatan, hafalan, memorizing (berbasis materi), namun sampai pada aspek penalaran dan kemampuan menggunakan keterampilan secara baik serta sifat berpikir yang aktif positif. Pembelajaran dan pendidikan yang menjadikan peserta didik memiliki kompetensi tertentu. Dalam hal ini pembelajaran tujuh kebiasaan manusia efektif yang dikemukakan oleh Stephen R. Covey sangat bermanfaat untuk dikembangkan dalam dunia pendidikan. Penting pula menerapkan pendidikan dan pembelajaran berdasarkan kecerdasan jamak yang dikemukakan oleh Howard Gardner. Penting pula bahwa setiap institusi pendidikan menerapkan pendidikan nilai sesuai dengan tingkat dan jenisnya.
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Sementara itu, Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidik Indonesia, melihat manusia lebih dari sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan apabila demikian pendidikan ternyata hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengambangan olah rasa dan karsa, dan terus berlanjut yang mangakibatkan manusia menjadi kurang humanis atau manusiawi.
E. Aspek Kemanusiaan yang Dikembangkan
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.
Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurut dia, paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme). Penting pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Sayang bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. Hal ini tentu merugikan siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun otak kiri, yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan.
F. Pengembangan Humaniora di Sekolah
Pendidikan humaniora merupakan suatu bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi, yaitu membantu manusia untuk mengaktualkan potensi-potensi yang ada, sehingga akhirnya terbentuk manusia yang utuh, yang memiliki kematangan emosional, kematangan moral dan kematangan spiritual.
Mardiatmojo (Drs. H. A. Dardiri, 1986) menegaskan perlunya humaniora bagi pendidikan. Hal ini berarti menempatkan manusia ditengah-tengah proses pendidikan, dimana ada 3(tiga) sumbangan humaniora dalam proses pendidikan, yaitua;
1. Menyatukan pengembangan pikiran(rasio) dengan hati(rasa),
2. Memperkenalkan kepada anak nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan abadi;
3. Mengerjasamakan pendidik dengan anak didik serta teori dan praktek.
Dalam pengembangan akal manusia yang penting bukan maksimalnya, melainkan optimalnya, yakni dengan pengerahan potensi budi manusia kepada yang baik, memanusiakan perilakunya agar menjadi manusia bijaksana, untuk itu diperlukan cara atau metode humaniora, yaitu mengutamakan kerjasama antar pendidik dan anak didik dan antara teori yang diajarkan dengan praktek kehidupan, hal ini akan dapat meneliti sikap dan perilakunya sendiri terhadap gejala-gejala social ekonomi, politik dan budaya masyarakat serta dan mencari cara-cara untuk mengatasi dan memperbaiki kepincangan social.
Tindak lanjut terhadap pengembangan sikap dan perilaku yang paling efektif dilakukan melalui institusi atau lembaga pendidikan, oleh karena itu perlu diusahakan pembaharuan yang menyeluruh dalam institusi pendidikan, melalui usaha, yaitu:
1. Restrukturasi, yaitu proses pelembagaan keyakinan, nilai dan norma baru tentang fungsi dasar , proses dan struktur suatu lembaga untuk menjamin kepastian, keadilan, dan pemanfaatan usaha pendidikan itu sendiri. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangat mendukung usaha restrukturasi ini, asal dilaksanakan dengan baik dan tepat. Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu bentuk dari restrukturasi;
2. Rekulturisasi: yaitu proses pembudayaan perilaku seseorang atau kelompok atas keyakinan, nilai dan norma baru yang diharapkan. Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan merupakan kunci rekulturasi. UNESCO (Theo Riyanto, 2003) merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma pembelajaran dan pendidikan, yaitu:
a. Learning to know: guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. Information supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi. Peserta didik dimotivasi sehingga timbul kebutuhan dari dirinya sendiri untuk memperoleh informasi, keterampilan hidup (income generating skills), dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
b. Learning to do: peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Peserta didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif. Pengajaran yang hanya menekankan aspek intelektual saja sudah usang.
c. Learning to live together: ini adalah tanggapan nyata terhadap arus deras spesialisme dan individualisme. Nilai baru seperti kompetisi, efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah diterapkan secara keliru dalam dunia pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi hanya akan bersifat adil kalau berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada kesamaan kemampuan, kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah merupakan kompetisi yang akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “kalah”. Sekolah sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”, kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu paguyuban penuh kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa, atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.
d. Learning to be: dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Setiap peserta didik memiliki harga diri berdasarkan diri yang senyatanya. Peserta didik dikondisikan dalam suasana yang dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan, adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat menemukan jati dirinya. Subyek didik diberikan suasana dan sistem yang kondusif untuk menjadi dirinya sendiri.
e. Learning throughout life: yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup. Pelaku pendidikan formal hendaknya berorientasi pada proses dan bukan pada hasil atau produk semata.
3. Ketiga adalah refigurasi yaitu proses perekayasaan figur atau tokoh sebagai model atau teladan (kepala sekolah, guru, pamong, orang tua) agar yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kesanggupan melembagakan dan membudayakan keyakinan, nilai dan norma baru pendidikan yang diharapkan. Pelaku pendidikan hendaknya menuntut dirinya untuk menjadi figur, model panutan, teladan bagi peserta didik. Kita sekarang ini lagi menderita kemiskinan idola pendidik. Proses pendidikan sebenarnya juga merupakan proses mempengaruhi orang lain. Pendidik memberikan pengaruhnya kepada para peserta didik. Pendidik menyediakan diri sebagai teladan yang patut diteladani dan menjadi kebanggaan bagi peserta didik, terutama kepribadiannya secara menyeluruh. Pendidik hendaknya sadar bahwa dirinya merupakan teladan kedewasaan, kematangan perasaan, efektivitas dan integritas pribadinya. Maka kualitas kepribadian pendidik sangat menentukan dalam proses pendidikan. Namun yang lebih penting lagi adalah mutu dan tanggungjawab relasi dan komunikasi pribadi yang dibangunnya dengan seluruh anggota komunitas sekolah.

G. Optimalisasi Pendidikan Humaniora
Sistem pendidikan di sekolah hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan pertumbuhan dan perkembangan keperibadian peserta didik secara utuh. Seperti kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternative dan prosesnya menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar dikembalikan sebagai subyek dan juga obyek pendidikan dan bukannya obyek semata-mata.
Kemampuan Iptek dan mengglobalnya dunia informasi dan komunikasi sebenarnya membutuhkan pribadi-pribadi yang matang dan berwatak. Ternyata pendidikan di masa lampau lebih menekankan manusia menjadi cerdas logis matematis dan bahasa, namun tidak memiliki watak yang tangguh dan bermoral luhur. Maka pentinglah pemberian otonomi pendidikan pada sekolah masing-masing untuk menentukan visi dan misinya dan melaksanakannya sehingga menghasilkan peserta didik yang selain cerdas, berkeahlian sekaligus berkepribadian tangguh. Untuk ini diperlukan tenaga-tenaga profesional, karena membutuhkan kemampuan-kemampuan seorang guru sebagai “artist, scientist, and technologist.”
Karena semakin kompleksnya pelaksanaan pendidikan pada zaman yang akan datang, maka pentinglah bahwa seorang kepala sekolah perlu memiliki sikap kepemimpinan sekolah (school leadership) dan keterampilan mengelola pendidikan (educational management). Seorang calon kepala sekolah perlu mendapatkan training secara menyeluruh tentang mutu kepribadian, kepemimpinan sekolah dan pengelolaan pendidikan. Sistem kepemimpinan yang partisipatif, delegatif, terbuka dan selalu melihat ke depan tanpa melupakan evaluasi.
Strategi yang digunakan adalah optimalisasi semua komponen sekolah seperti kesiapan peserta didik, motivasi dan usaha keras sekolah, dukungan keluarga dan masyarakat (komite sekolah

Strategi yang digunakan adalah optimalisasi semua komponen sekolah seperti kesiapan peserta didik, motivasi dan usaha keras sekolah, dukungan keluarga dan masyarakat (komite sekolah). Jika sarana, peserta didik dan lingkungan optimal, ditanbah dengan proses belajar mengajar yang efektif, dinamis dan berkualitas, maka kualitas lulusan akan seperti yang diharapkan dalam visi dan misi serta jabarannya.
Di masa mendatang para pendidik (guru) hendaknya bergairah dan terlatih untuk mengetahui potret dirinya di kelas. Penelitian kelas hendaknya dilakukan untuk melihat potret dirinya selaku pendidik, pengajar dan sebagai pribadi. Bagaimana penilaian peserta didik tentang para gurunya, sebagai pendidik, pengajar dan juga sebagai seorang pribadi. Guru juga perlu meningkatkan tingkat akademik dan profesionalitasnya, tanpa memikirkan beban sosial ekonomi sering menjadi hambatan, maka peningkatan kesejahteraan perlu direalisasikan.
Selanjutnya diperlukan adanya guru yang efektif, yaitu: (1)memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); (2)mampu mengadakan hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; (3)mampu menciptakan relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orangtua, komite sekolah, pihak terkait); (4) mampu mengelola administrasi; dan (5)menjaga sikap profesionalitasnya.
Sikap-sikap profesional itu meliputi: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan, menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Perlu juga diusahakan suatu pengelolaan kelas dengan perspektif baru. Pengelolaan kelas tidak sekedar pada hal-hal teknis atau menyangkut strategi belaka, namun lebih menyangkut faktor pribadi-pribadi peserta didik yang ada di kelas tersebut. Pengelolaan kelas tidak dapat dilepaskan dari aspek manusiawi dari pembelajaran dan pengajaran. Pengelolaan kelas yang ditekankan pada bagaimana mengelola pribadi-pribadi yang ada akan lebih menolong dan mendukung perkembangan pribadi, baik pribadi peserta didik maupun pribadi gurunya. Kelas yang dikelola dengan cara demikian, peserta didik tidak hanya akan berkembang intelektualitasnya saja, namun juga aspek-aspek afektif, konatif dan sosialitasnya. Sebab belajar tidak hanya terbatas pada aspek intelektual tetapi juga aspek perasaan, perhatian, keterampilan dan kreativitas. Proses belajar hanya efektif jika ada relasi dan komunikasi yang bermutu antara pendidik dengan peserta didik dan peserta didik dengan peserta didik. Guru yang tidak menyampaikan kualitas dan makna hidupnya dalam setiap mata pelajaran yang diembannya kepada anak, tidak akan banyak berpengaruh pada perkembangan kepribadian anak. Kelas atau kegiatan belajar mengajar hendaknya menjadi suasana yang menggairahkan dan mengasyikkan untuk kegiatan eksplorasi diri dan menemukan identitas diri. Maka pengajaran secara integral mesti berkaitan dengan pendidikan nilai.
Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk mencapai tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya. Proses ini menyangkut “perjalanan menuju ke kedalaman diri sendiri”, menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga dirinya. Pendidikan nilai menyangkut ranah daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh pengalaman seseorang. Faktor-faktor penting dalam pengelolaan kelas yang pertama adalah faktor gurunya, kemudian faktor kedisiplinan, terus evaluasi atau penilaian bagi peserta didik.
Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup oranglain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog. Pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktualisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tanggungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses pengembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengadakan pembaharuan pendidikan adalah perumusan dasar filosofi pendidikan, misi dan visi setiap unit kerja, strategi dan perencanaan untuk mencapai tujuan yang banyak membantu dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Tanpa itu semua, suatu lembaga pendidikan akan bekerja serampangan dan tidak tahu ukuran apa yang akan dipakai untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan segala kegiatan yang ada. Warna sistem pendidikan dan pengelolaannya sangat tergantung dari dasar filosofi, visi dan misi yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan. Pelaksanaan yang secara konsisten dan konsekuen akan dengan sendirinya membentuk identitas yang membedakan dengan lembaga sekolah lain. Hal-hal ini pula yang akan memberikan roh yang menjiwai dan menggerakkan semua pelaku pendidikan untuk mencapai tujuan yang optimal. Perlu pula dibangun suatu budaya pengelolaan keorganisasian yang jelas dan terinci sehingga semua dapat bekerja secara proaktif, mendahulukan yang utama, selalu melihat tujuan akhir, kooperatif, berpikir rasional, berusaha mengerti terlebih dahulu baru dimengerti dan mewujudkan sinergi. Semua anggota komunitas pendidikan hendaknya bergerak dari ketergantungan melewati kemandirian menuju kesalingketergantungan.
















BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk hidup praktis.
2. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia.
3. Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.
4. Pendidikan humaniora merupakan suatu bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi, yaitu membantu manusia untuk mengaktualkan potensi-potensi yang ada, sehingga akhirnya terbentuk manusia yang utuh, yang memiliki kematangan emosional, kematangan moral dan kematangan spiritual.
5. Sistem pendidikan di sekolah hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain.

B. Saran
1. Hendaknya sekolah menerapkan aspek humaniora agar siswa menjadi orang yang lebih mementingkan nilai kehidupan, moral, estetika, lebih-lebih lagi agama, dibandingkan hanya terfokus pada kepintaran dari segi IQ saja.
2. Sebaiknya pendidik tidak mengambil alih tanggungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses pengembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar